Menghargai Kehidupan
Baru-baru ini (8/11/19) Reuters Seoul memberitakan sebuah perusahaan jasa Korea Selatan menawarkan pemakaman gratis - tetapi hanya untuk orang hidup. "Begitu Anda menyadari kematian, dan mengalaminya, Anda bakal menempuh pendekatan baru menjalani kehidupan," kata Cho Jae-hee, 75 tahun, yang berpartisipasi dalam pemakaman hidup itu. Mereka belajar mati untuk menghargai kehidupan.
Eutanasia, eu = baik, dan thanatos = mati, secara hurufiah berarti “mati baik”. Deklarasi tentang eutanasia 1980 mendefinisikan eutanasia sebagai perbuatan atau kelalaian sengaja (pantang berbuat) yang menurut hakekatnya atau maksudnya mendatangkan kematian, agar dengan demikian setiap penderitaan diakhiri.
Ada beberapa argumen pendukung eutanasia. Pertama, demi mengelakkan penderitaan. Kedua, prinsip utilitarisme (nilai kehidupan ditentukan bukan oleh martabatnya tapi dari kegunaannya). Ketiga, kemajuan teknik medis. Keempat, prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang. Kelima, menghormati otonomi.
Berdasarkan cara yang dipakai, eutanasia terdiri dari dua jenis. Pertama, eutanasia aktif, yaitu eutanasia dengan memakai sarana, misalnya injeksi. Kedua, eutanasia pasif, yaitu eutanasia yang tidak memakai sarana terapi atau menghentikannya, misalnya menghentikan obat-obatan. Sedangkan berdasarkan motivasi, eutanasia terdiri dari dua jenis pula. Pertama, eutanasia direct, yaitu eutanasia yang menghendaki perpendekan umur. Kedua, eutanasia indirect, yaitu eutanasia yang menghendaki pengurangan penderitaan, sedangkan perpendekan hidup hanya efek sampingan.
Penilaian Moral atas Eutanasia
Alasan utama untuk melakukan eutanasia adalah menghilangkan penderitaan. Menurut Evangelium Vitae (EV), atau dalam Bahasa Inggris "The Gospel of Life" atau terjemahan bebas kedalam Bahasa Indonesia “Injil Kehidupan”, hidup punya nilai pada dirinya baik waktu menderita maupun tidak. Manusia harus menghadapi penderitaan itu sebagai proses menuju kematangan. Penderitaan jangan menjadi alasan untuk tindakan eutanasia. Lagipula eutanasia sebenarnya menentang hukum emas dari Yesus, yakni mencintai sesama seperti diri sendiri. Maka tanda cinta pada orang sakit bukanlah ditunjukkan dengan tindakan eutanasia, tetapi dengan doa dan pelayanan. Itulah sebabnya Gereja menyediakan Sakramen Pengurapan Orang sakit. Dengan sakramen ini, Gereja mengimani bahwa urusan memberi dan mengakhiri kehidupan adalah wewenang Allah. Hidup manusia ada dalam tangan Allah. Allah yang memiliki kekuasaan untuk membuat hidup dan mati. Berdasarkan hal tersebut, maka eutanasia sebenarnya melawan hukum dan kuasa Allah. Eutanasia sama dengan tindakan bunuh diri (dilakukan terhadap diri sendiri) dan pembunuhan (dilakukan terhadap orang lain).
Bunuh Diri
Banyak penyebab orang melakukan kekerasan terhadap hidupnya bahkan sampai memilih untuk mati, yang disebut dengan bunuh diri. Penilaian moral terhadap bunuh diri dapat dicermati dari dua hal, yaitu aspek obyektif dan aspek subyektif.
Penilaian Moral atas Bunuh Diri
St. Thomas menolak/menghukum tindakan bunuh diri. Juga EV menilai negatif tindakan tersebut. Gereja membedakan bunuh diri langsung dari pengorbanan diri. Tindakan bunuh diri langsung ditentang oleh Gereja, sementara pengorbanan diri bisa diterima. Alasannya bahwa sasaran pengorbanan diri bukanlah kematian, tetapi perkara yang luhur. Kematian adalah akibat sampingan dari sasaran tersebut. Dasarnya adalah bahwa Kristus sendiri menyerahkan hidup-Nya bukan untuk dibunuh, melainkan melasanakan tugas-Nya, kendatipun sadar bahwa dengan itu Ia akan dibunuh. Selain bunuh diri secara pribadi, sering juga terjadi bunuh diri massal/ kolektif. Kedua jenis bunuh diri itu tidak diterima oleh Gereja.
Marilah menghargai kehidupan yang diberikan oleh Tuhan. Tubuhmu adalah Bait Allah, tempat kediaman Roh Kudus. Kamu sungguh berharga dan bermartabat. Manusia adalah makhluk hidup yang bernilai tinggi. Manusia memiliki ratio, budi, dan kehendak. Itulah yang membedakan manusia dari ciptaan-ciptaan lainnya. Manusia diciptakan Allah seturut citra-Nya. Karena mempunyai jiwa yang bersifat rohani dan kekal, maka manusia merupakan satu-satunya makhluk di dunia ini yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia memiliki panggilan adi kodrati untuk tetap terarah kepada Allah. Dengan demikian nilai kehidupan manusia ditentukan oleh relasinya dengan Allah.
Hidup yang dimiliki oleh manusia tidak terjadi dan berakhir begitu saja. Itulah sebabnya tidak seorangpun boleh merekayasa dan mengakhiri hidupnya atau orang lain dengan sekehendak hati. Manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang atas hidup manusia. Hidup mempunyai nilai, bermakna, dan terarah pada satu tujuan tertentu.
Fr Martinus Situmorang OFMCap